» Website: https://www.sripari.com » Email: redaksi.sripari@gmail.com » Alamat: Redaksi Tuban: Jalan Raya Logawe nomor 359 Rengel 62371, CP/WA: 082231041229. Redaksi Surabaya: Jalan Kebonsari Raya nomor 26,CP/WA: 082333695757. » Telepon: .

■ Tuban Barometer

Tak Bisa Pindah Hati, Tak Dapat Pula Pindah ke Lain Tubuh
26 September 2019 | Tuban Barometer | Dibaca 1494 kali
ILLUSTRASI: Cinta semati. Foto: GOOGLE IMAGE DIOLAH
Semenjak ditinggal istrinya mati, dunia bagi Sontoloyo (bukan nama sebenarnya), seperti runtuh.

sripari.com | tuban-Semenjak kematian istrinya, sekedar menggadaikan cintanya tak bisa dilakukan oleh Son, begitu lelaki ndeso di sebuah dusun teduh yang dibelah jalan raya Dandeles jurusan Jakarta-Surabaya bertepi pantai utara laut Jawa sudut barat Kota Tuban ini, akrab disapa.

Perempuan bagi Son cuma istrinya seorang. Dua momongan buah perkawinannya masih piyek, belum bisa maakan sendiri, saat istrinya meninggal. Kini keduanya sudah berkeluarga dan dan tinggal pisah rumah dengan Son.

Jika dihitung mundur, berarti Son sudah hampir 20 tahun "puasa" perempuan. Meski hanya seorang petani dan mengaku mrotol saat naik kelas dua sekolah dasar, tapi Son ini dikenal pandai bercerita. Aneka topik dia kuasai walaupun para tetangganya tahu betul bahwa Son tak lebih hanya sekadar tukang nggedabrus alias omong kosong.

Soal nggedabrus ini, Son tak pilih-pilih dan sangat percaya diri, termasuk kepada orang yang baru dikenalnya sekalipun. Termasuk kepada dua lelaki beda umur ketika sedang nyeruput kopi di sebuah warung dusun Son tinggal, siang yang terik akhir pekan kemarin.

"Saya ini juga buka warung. Tapi nggak marung keluar rasanya kurang sreg," kata Son begitu pantatnya menyentuk dingklik warung sembari basa basi mengenalkan diri.

Belum sempat lelaki asal Karangpacar Bojonegoro itu menyambung kata, langsung diberondong Son soal bagaimana kesetiaan dia pada istrinya yang sudah lama meninggal tersebut.

Kesetian itu dianalogikan Son dengan "puasa" perempuan. Kontan lekai asing yang baru dikenalnya buru-buru meletakkan kembali cangkir kopi di atas lepek sambil bertanya apa resepnya sampai-sampai Son bisa ngelakni "puasa" perempuan begitu lama.

"Pokoknya sudah ndak kepikiran perempuan blas (sama sekali). Saya ini orangnya tak bisa pindah ke lain hati. Termasuk pindah tubuh (perempuan) juga ndak bisa" tandas Son begitu ditanya lelaki asing itu kettika suatu waktu tiba-tiba muncul hasrat biologisnya yang harus segera mendapat saluran yang tepat.

Dia lantas memuji-muji istrinya dengan mengatakan tidak pernah menuntut, nerrimo, apalagi matre. Jika mengingat tabiat istrinya Son jadi terharu. Sejak jadi pengantin baru sampai akhir hayatnya, kata dia, sudah sembilan kali istrinya diajak pindah rumah.

"Sembilan kali pula saya jual perhiasan istri saya untuk modal boyongan. Dia tak pernah protes. Bahkan setelah tidak pindah rumah lagi, istri saya ndak mau saya belikan perhiasan," imbuh Son yang jika ditilk dari wajhnya sudah berkepala enam alias berusia di atas 60 tahun ini.

Perempuan penjaga warung yang sedari tadi asyik mencacah kubis mendadak nyengir semabri mengangkat bahu, Dari gesturnya seolah dia ingin mengatakan kalau Son sedang nggedabrus.

"Semua perempuan juga ndak mau dibelikan perhiasan suaminya kalau toh akhirnya dijual lagi. Maunya kan permanen. Lagi pula mana ada lelaki yang bisa puasa perempuan. Perempuan mana yang sudi kamu kawin kalo cuma untuk tambel butuh (pelampiasan)," sungut perempuan itu ranpa menoleh ke arah Son.

Mendengar itu Son hanya mesem. Tergesa-gesa dia menyorongkan uang Rp 2.000 membayar es cendol yang sudah ditenggaknya. Tangan kirinya menenteng klentang, buah kelor, yang baru saja dibelinya dari tukang sayur kelililng.

"Sudah Yu, Pak, Mas, saya mau masak," katanya terus ngeloyor pergi. Lankah kakinya gelisah seperti menyeret nasibnya yang selara hidupnya yang sebatang kara. ||


Reporter: M Zainuddin
Editor: As ad An-Nawawi