» Website: https://www.sripari.com » Email: redaksi.sripari@gmail.com » Alamat: Redaksi Tuban: Jalan Raya Logawe nomor 359 Rengel 62371, CP/WA: 082231041229. Redaksi Surabaya: Jalan Kebonsari Raya nomor 26,CP/WA: 082333695757. » Telepon: .

■ Budaya

Cerpen: Semuanya Bisa Dibeli
28 Mei 2017 | Budaya | Dibaca 2349 kali
Ini sebenarnya satu ceritera tua saja. Ceritera seorang yang mempunyai banyak uang, dan menyangka semuanya dapat dibelinya dengan uang.

cerpen  | mochtar lubis

“Jika engkau bisa membayar harganya, maka semuanya dapat engkau beli di dunia ini, “ kata Nyonya Sheila Higgins. Dia menghirup gelas anggur dengan gaya halus, meletakkan gelas anggur kembali ke meja, dan kemudian menusuk sepotong daging dari piringnya, dan memandang berkeliling.

Musik kapal memainkan sebuah waltz Strauss yang mengayun-ayun, dan kamar makan kelas satu MS “Star Queen” penuh dengan penumpang-penumpang. Malam itu udara cerah sekali, dan bulan-bulat besar, merendah ke laut. Laut tenang bergelombang panjang-panjang dan rendah-rendah.

Kami berenam di meja. Nyonya Sheila Higgins, puteranya yang berumur 20 tahun, Tom Higgins, suami isteri Stacey, orang Kanada dan David Farrar, orang tua separuh baya, dan kemudian saya sendiri.
Kami berenam sama-sama naik kapal di Tokyo, dan kini kapal sedang menuju Hongkong. Kapten kapal mengatakan kapal akan masuk pelabuhan Hongkong esok hari.

Dari kami berenam semeja itu, Nyonya Sheila Higgins yang paling banyak berbicara. Umurnya kurang lebih empat  puluh tujuh tahun, akan tetapi wajahnya lebih muda dari umurnya, dan dia pandai pula memelihara badannya. Segera juga dia berceritera, bahwa dia janda, suaminya baru meninggal setahun yang lalu. Dan dia ditinggalkan suaminya sebuah tambang nikel di Afrika Utara, dan mereka berdua, dia dan anaknya sedang melakukan perjalanan berkeliling dunia. Mereka terbang dari daratan Amerika ke Hawaii, dan kemudian dari Hawaii ke Tokyo. Akan tetapi di Hongkong anaknya akan pulang lebih dahulu ke Inggris, karena itu dia dan kawan-kawannya akan bersama-sama melakukan perjalanan ke Skandinavia.

“Sesudah itu saya sendirian saja”, kata Nyonya Sheila Higgins, dan menarik napas, serta memandang berkeliling seakan minta ditemani. Matanya segera menuju David Farrar, dan Tuan Farrar akan segera membuang  mukanya, kemalu-maluan. Tuang Farrar cakap raut mukanya, seakan raut muka Walter Pidgeon, pemain film Hollywood itu. Tingkah lakunya halus pula. Dan dia amat hormat pada semua orang. Dia sendiri tidak banyak berbicara, hanya sekali-sekali saja, jika orang bertanya padanya dengan langsung. Akan tetapi tidak pula dia memperlihatkan dia tidak senang mendengar pembicaraan yang berlaku di meja itu. Dia pegawai negeri, dan ke Tokyo perlop dari tempatnya bekerja di Penang, Semenanjung Melayu.

Dan kemudian Nyonya Sheila Higgins akan melihat pada saya, dan berkata: “Orang timur benarkah cepat mengerti isyarat?”
“Ah, tentu,” jawabku, “kami tidak perlu satu kalimat. Separuh saja pun cukup. Orang mengerti.”
Dan Nyonya Sheila Higgins akan memandang pada David Farrar dan berkata:
“Itu, lihatlah, orang Timur lebih mudah mengerti.”

Akan tetapi Tuan Farrar akan asyik memotong daging di piringnya dan Nyonya Sheila Higgins akan segera berpaling pada puteranya Tom Higgins dan mengatakan sesuatu pada anaknya, yang tidak dapat kami ikuti.

Suami istri Stacey sudah lewat enam puluh tahun. Mereka berdua turis dari Kanada. Bukan milyuner Amerika, akan tetapi sepasang suami isteri yang semenjak mudanya telah memutuskan satu kali mereka akan mengelilingi dunia bersama-sama, dan semenjak mereka kawin sengaja menyimpan uang untuk dapat membelanjai perjalanan mereka ini.

“Wah,” kata Tuan Stacey membuka ceritanya kembali, malam pertama kamu berangkat dari Tokyo, “waktu senja masih kecil saya lihat peta-peta negeri asing, dan saya berkata pada diri saya sendiri –‘John Stacey, engkau satu waktu harus melihat sendiri dunia ini.

Dan semenjak itu saya menyimpan untuk menyampaikan maksud saya. Dan kemudian ketika saya bertemu dengan Lizzie’- wah, rupanya dia ketika muda juga memutuskan untuk melihat dunia, dan ketika kami telah kawin, kami terus menyimpan untuk dapat melihat dunia. Dan sekarang kami melihat dunia,” dia memandang berkeliling meka. Dan kami semua mengucapkan selamat pada suami isteri Stacey, dan memuji keteguhan hati mereka.

Nyonya Sheila Higgins malam itu segera menyambut dan berkata:
“Itu juga saya. Apa yang saya mau, saya dapat. Harus begitu memang hidup di dunia.”
Segera dia menceriterakan betapa hanya dengan kekerasan hatinya, suaminya berhasil membangun tambang nikel di Afrika Utara itu.

Jelas benar bagi kami semua, kecuali bagi tuan David Farrar, bahwa janda separuh baya yang kaya raya ini amat jatuh cintanya pada tuan David Farrar. Cinta yang sering terdengar akan tetapi jarang terjadi, yang datang menyambar dengan tiba-tiba dan tiada terelakkan lagi. Akan tetapi David Farrar seakan orang buta, dan malahan semakin menjauhkan hatinya.

Di Hongkong, kami turun bersama-sama. Baru aku melihat berapa milyuner itu memang tidak menghargakan uang. Nyona Higgins sedikitpun tiada berpikir membayar barang-barang apa yang dilihatnya dan menarik hatinya. Sebentar saja telah lebih dari dua ribu dolar ke luar uangnya membeli macam-macam barang, dari ukiran-ukiran dan perhiasan Tionghoa hingga minyak-minya wangi segala macam.

Kemudian kami berpisah. Aku kembali ke kapal, dan Tuan Farrar diajak oleh Nyonya Higgins untuk menemaninya hingga puteranya berangkat dengan kapal sambung. Kelihatan Tuan Farrar hanya karena terpaksa mau tinggal di darat bersama Nyonya Higgins. Bagi seorang gentleman memang sukar untuk menolak, jika seorang wanita minta bantuannya.

Ketika keesokan harinya kapal berangkat, baru aku melihat Tuan Farrar termenung-menung seorang diri di atas geladak. Dia bersandar ke pagar kapal, dan matanya memandang jauh-jauh ke kota Hongkong yang semakin lama semakin jauh.
Aku dekati dia, dan berkata:

“Ah, memang saya tiap kali meninggalkan tempat, meskipun hanya baru kita kenal. Selalu timbul dalam hati pertanyaan apa yang masih dapat dijumpai, jika engkau lebih lama tinggal”.
“Ya, benar juga,” sahut Tuan Farrar, “akan tetapi sekali ini aku tidak memikirkan Hongkong yang tinggal itu. Yang aku pikirkan ialah yang ikut.”

Dengan jawaban yang penuh teka-teki itu dia mengajak aku turun untuk pergi minum di bar. Ketika makan malam aku terperanjat melihat Tuan Farrar tidak makan lagi di meja kami, akan tetapi pindah makan ke tempat lain. Melihat kami semua memandang padanya, Nyonya Higgins dengan tertawa berkata:

“Ah, mungkin dia marah padaku ketika di Hongkong. Ada yang terjadi setelah kami mengantarkan Tom ke lapangan terbang, dan dia merasa terhina karena aku membanggakan uang padanya. Akan tetapi aku tetap percaya dengan uang semua dapat dibeli.” Dan dia melihat menantang pada kami.

“Persahabatan juga?” tanyaku.
“Ya!” jawabnya.
“Kebahagiaan?” tanya tuan Stacey.
“Ya,” tantang nyonya Higgins.
“Cinta?” tanyaku mengganggu.
“Ya, juga cinta. Dan semua yang abstrak-abstrak tetapi sungguh-sungguh memang ada,” jawabnya penuh keyakinan.
Dan sebentar dia menoleh ke meja tempat Tuan Farrar sedang makan, duduk di sebelah seorang perempuan muda yang cantik sekali.

Sedang kopi dihidangkan sehabis makan, tiba-tiba nyonya Higgins berpaling padaku dan bertanya:
“Dan Tuan tidak percaya cinta dapat dibeli dengan uang?”
“Tidak,” jawabku. “Kalau cinta bisa dibeli dengan uang maka semua orang yang punya uang bisa berbahagia terus dalam cinta, dan orang yang tidak punya bisa beruka tiada punya cinta.”

Nyonya Higgins tidak hendak mengalah, dan dengan kuatnya menentang contoh-contoh yang aku berikan, hingga akhirnya aku berpaling pada suami isteri Stacey, dan berkata:
“Tuan dan Nyonya dari tadi diam saja mendengarkan perdebatan kami,” kataku, “cobalah katakan siapa yang benar di antara kami?”

Tuan Stacey menghirup mangkok kopinya, mengedipkan matanya nakal kepada Nyonya Stacey, dan berkata:
“Aku kawin dengan Lizzie, karena mengharapkan uang simpanan Lizzie!”
“Dan aku mengharapkan uang simpananmu!” sahut Nyonya Stacey pada suaminya.

Dan mereka berdua tertawa penuh bahagia.
“Ah, Tuan dan Nyonya berolok-olok,” kataku.

Perdebatanku setelah itu tidak dapat diteruskan lagi dengan Nyonya Higgins, dan Tuan Stacey menceriterakan pengalamannya yang hebat berburu beruang di rimba raya Kanada.

Sesudah malam pertama berangkat dari Hongkong udara jadi buruk. Badai tiba-tiba melanda kapal tiada berhenti-hentinya. Dan banyak penumpang tidak ke luar kamar mereka. Aku pun tinggal dalam kamar saja. Tiada timbul nafsu hendak berjalan di atas geladak yang oleng dan miring serta licin dihantam hujan dan gelombang yang memecah.
Demikianlah, hingga akhirnya laut tenang kembali, dan kami tiba di muara sungai, yang membawa kapal ke Bangkok, ibu kota negeri Siam.

Kapal tiga hari di Bangkok, dan jarang aku berjumpa dengan kawan-kawanku semeja di kapal. Barulah kemudian ketika hari kapal akan berangkat, dan aku sedang berada di atas geladak, aku melihat Tuan Farrar dan Nyonya Higgins di atas sekoci, hendak naik ke kapal. Melihat aku mereka berdua ketika tiba di geladak memberi salam amat riangnya.
Ketika kapal telah tiba di laut, hari telah malam, dan aku terlambat tiba di kamar makan. Terkejut juga aku melihat Tuan Farrar telah duduk kembali di meja makan kami.

Ketika aku tiba, semua orang memandang padaku. Aku jadi keheran-heranan, dan memandangi pakaianku dengan baik-baik, takut kalau ada kancing-kancing baju atau celana yang tidak terpasang, atau apa. Mereka tertawa, dan menyuruh aku duduk cepat-cepat. Di meja di dalam pot dari timah yang besar, dua buah botol sampanye yang besar telah didinginkan.

“Ha,” kataku, mulai mengerti, “hari lahir siapa?”

Dan aku memandang mereka berkeliling, Nyonya Higgins, Tuan Farrar, suami isteri Stacey. Nyonya Stacey tak dapat menahan hatinya lagi dan berseru: “Mereka telah kawin, ini orang dua yang nakal!”

Dan Nyonya Stacey berdiri, menciumi Nyonya Higgins dan David Farrar berganti-gantu, bukan kepalang terharunya dia, dan berseru-seru.

“Aduh, romantisnya, aduh romantisnya!”

Beberapa saat aku tidak bisa berkata apa-apa. Amat herannya aku. Akan tetapi segera aku ingat kewajibanku, dan aku berdiri menjabat tangan mereka, dan mengucapkan selamat. Mereka kemudian berceritera telah dikawinkan di kedutaan Inggris di Bangkok hari kedua kapal berlabuh, dan berpandang-pandangan seperti dua pengantin remaja.

“Aku hendak merayakannya besar-besaran,” kata Nyonya Higgins, “dan mengundang semua penumpang kapal. Akan tetapi David tidak suka. Sekarang dia yang kuasa.”

Nyonya Higgins berceritera, dia akan turun kapal di Singapura, dan mungkin tahun depan akan meneruskan honeymoon mereka ke Eropa.

“Sebenarnya David tidak perlu bekerja lagi, dapat gaji dari pemerintah yang pelit,” tambahnya, “akan tetapi dia memaksa aku supaya tinggal terus di Malaya hingga habus dinasnya di sana.”

Gembira benar meja kami malam itu, apalagi ketika kemudian kapten kapal datang dan mengucapkan selamat pula. Baru sesudah pukul 12 malam kami bubar. Aku berdiri di geladak dekat gang ke kamar-kamar kami, bersandar ke pagar kapal melihat bintang-bintang yang bertaburan di langit. Nyonya Higgins lewat, mengucapkan selamat malam, dan kemudian berhenti sebentar, dan berkata padaku:

“Aku benar bukan?”

Dan dia terus pergi.
Beberapa saat kemudian Tuan David Farrar lewat sambil bersiul-siul kecil, dan ketika dia melihat saya di pagar geladak, dia datang, membuang puntung cerutunya ke laut, merah api berjatuhan ke bawah ke gelap air, dan dia berkata: “Tuan wartawan. Tanyalah !”

Saya berpaling dan tertawa padanya.

“Tuan bisa membaca pikiran orang. Baiklah. Semua kami menyangka Tuan mengelak diri dari Nyonya Higgins.”
“Ah, sahabatku,” jawabnya, dan tertawa lebar mengoyak pipinya, “jika seorang pegawai negeri kecil yang tidak punya uang jatuh cinta dengan sekaligus pada seorang wanita kaya raya, dan dia melihat wanita juga jatuh cinta padanya, maka dia harus berhati-hati. Tidak boleh dia mengambil pimpinan, sebab si wanita bisa menyangka nanti, si lelaki mengintip hartanya. Jika si wanita tunggu cinta padanya, maka pasti si wanita yang akan mengambil inisiatif.”
Aku tertawa, tetapi kemudian aku bertanya.

“Akan tetapi jika si wanita, karena sifat kewanitaannya tidak mau mengambil inisiatif, maka apa yang harus dilakukan si lelaki miskin?”
“Ah, tetapi dia,” dan Tuan Farra menggoyang kepalanya ke arah kamar mereka, “ akan tetapi dia … mengambil inisiatif. Selamat malam!”

Dalam kamar itu ada dua manusia berbahagia, pikirku sendiri; kedua-duanya yakin kebenaran mereka membawa kebahagiaan mereka. Tapi beberapa saat aku jadi ragu-ragu kembali: “Apa benar semuanya bisa dibeli…???” []