■ Budaya

as ad an-nawawi adalah petani jagung kaki bukit tuban yang belajar menulis sajak sejak kanak-kanak, dan pemimpin redaksi sripari.com
elegi kaliwedi
pungutkan angin kepada yang rindu
pulang, perempuan birahi
menelanjangi gerimis,
kabar kemarau yang jauh luruh di balik
bukit, membelai punggung hutan
pinus, sisa rudapaksa nestapa zaman,
ibu berdoa anak durhaka, isteri setia
suami sia-sia, perawan kencur
meludahi tiang langit,
wanita dancukan menunggu rembulan
pasi menyapa, mengusap susunya
yang sudah lama tak perawan, sebelum
menstruasi pertama,
malioboro mengirimkan siluet, seperti
pulau terasing teduh kebun salak,
gejolak rambutan berguguran
mencium sangsai kelopak bumi,
janda kenes rebah di tanah basah
minta disayang, seperti mata loyang
kemudian aku sepuh, rambutnya
menari minta keramas, seperti anak
balita merajuk minta mandi dan
disabuni,
wajahnya tiba-tiba mendongak mencari
kembara pipi gunung merapi,
mulutnya bersiul merapalkan prinsip
dan angka-angka kaki kinahrejo,
sendalnya menginjak puing nestapa,
hatinya liwung menanti lelaki sialan
yang pergi tanpa mengobral janji, dan
cuma berkata,"andaikan aku bisa
mengubah arah matahari, maka niscaya
engkaulah kiblatku."
jogja, 2015
percuma bersajak tentang cinta
angin yang lembut mencium kesumba
cinta, menggungurkan bunga di pipimu,
wajahmu berdiri menjangkau sepi
kabut,
sebagai seorang penyair kamu lebih
tahu bagaimana memperlakukan aku,
karena cinta adalah abstrak, maka
biarkan dia menjadi dirinya sendiri,
aku pikir percuma saja mengajari kamu
jatuh cinta, karena kamu tak pernah
bersajak tentang cinta, meninabobokan
alam dan capung, mengejar
rinai gumuk, mengantar katerin tamasya
menucumbui sejarah kita, berbicara
dan berbisik sepanjang malam,
menyaksikan gelora waktu,
tak berdusta soal cinta itu sendiri,
bukan semata membunuh kebosanan,
tapi pertikaian selalu berakhir sebelum
separoh malam,
kesunyian hanyalah teman jauh yang
sesekali mampir dan titip salam,
membiarkan pendar mata bening yang
sebentar lagi datang, mengabarkan
negeri yang jauh, sanak kadang bukan
arang keranjang,
mata hening ialah gairah sejarah
surabaya, 2015