» Website: https://www.sripari.com » Email: redaksi.sripari@gmail.com » Alamat: Redaksi Tuban: Jalan Raya Logawe nomor 359 Rengel 62371, CP/WA: 082231041229. Redaksi Surabaya: Jalan Kebonsari Raya nomor 26,CP/WA: 082333695757. » Telepon: .

■ Budaya

Umi Kulsum

20 September 2016 | Budaya | Dibaca 3886 kali

Seorang gadis yang namanya tak pernah kusebut-sebut dalam pergaulan dengan teman-teman ialah Umi Kalsum, anak Haji Basuni yang kaya itu. Tapi nama itu diam-diam mengembang di hatiku, ketika itu.

 

  • Cerpen Djamil Suherman

Seperti bunga kacapiring, muka dan kulitnya kemerah-merahan dan kalau ketawa cekung pipinya. O, dia pernah jadi saingan kuat dengan Zainab yang egoistis. Bedanya dengan Zainab, mata Umi teduh seperti laut dan kalau memandang terasa sekali merampas dada. Rambutnya hitam mengombak, sama hitam dengan rambut Fatimah anak Haji Ma ruf itu.

Mula-mula aku begitu memimpikan dia. Sampai pun pada suaranya yang merdu tiap kali membenamkan daku ke satu fantasi yang indah dan ajaib, sebagaimana kalau aku membayangkan wajah seorang gadis putri nabi yang cantik itu.

Umi kukenal ketika ia mengantarkan bubur-safar ke rumahku. Kami bersalam-salam dan beramah-ramah.

Haji Basuni beranak tiga orang gadis. Yang tua namanya Masanah, sudah bersuami dan punya anak satu. Yang tengah Batifah dan kemudian Umi Kalsum. Kedua kakak-beradik itu masing-masing berumur 15 dan 14 tahun dan merekalah bunga Ketapang itu. Tapi teman-temanku lebih gandrung sama si Umi, sebab ia lebih manis dari pada kakaknya.

Umi bersahabat baik dengan Zainab dan gadis-gadis lainnya di Kedungpring. Mereka berangkat mengaji ke langgar bersama-sama. Beruntun dengan si Rodiyah, anak Pak Abubakar. Toyibah, anak Pak Mudin yang terkenal kenes itu. Afifah, Salamah, Maimunah, Saodah, Fatimah, dan masih banyak lagi.

Perkenalanku dengan Umi diketahui oleh Zainab yang sejak mulanya sudah cemburu. Pada suatu malam, ketika di langgar Nyai Safii diadakan malam qasidahan, aku dan teman-teman mengintip mereka dari lubang dinding langgar mereka. Tampak olehku Umi duduk jejer dengan Fatimah dan Salamah, di pojok. Ketika itu Umi sedang menyanyikan sebuah lagu. Tiba-tiba matanya melihat aku dan ia senyum malu-malu. Betapa pula maluku ketika itu.

Tapi kemudian aku ingin mengintipnya lagi. Hatiku berdebar dan seolah ada sesuatu yang melonjak-lonjak di dadaku, seperti angin. Aku tercenung dan berpikir. Aku tak tahu adakah teman-temanku mengetahui keadaanku malam itu. Malam itu aku tak bisa tidur. Dan sengaja tidur di langgar dengan teman-teman banyak sekadar melupakan perasaan yang aneh-aneh. Aku cuma berharap, mudah-mudahan malam itu aku bisa mimpi yang baik dan panjang.

Dalam menelentang melihat langit-langit yang suram, tiba-tiba Ichwan yang kukira sudah tidur itu berkata seperti menyindir.

- Ya, memang begitu bagus matanya, katanya.

- Kau belum tidur, Wan? tanyaku kaget.

- O, mata itu seperti pohon beringin, sambungnya lagi tidak mengindahkan pertanyaanku.

- Kau tadi melihat aku?

- Ya, aku melihat senyuman itu, katanya mengejekku lagi.

Babi orang ini, pikirku. Ichwan menggeliat dan menguap.

- Kau cinta padanya, Wan? tanyaku mulai cemburu.

- Mungkin juga seperti kau.

- Dan kau melamar dia? cemburuku makin kuat; tapi Ichwan cuma ketawa sinis, lalu menjawab:

- Aku tahu perasaanmu, Kawan.

- Perasaanku? Lantas, apa pendapatmu?

-Sayang, aku tak punya pendapat. Aku tahu aku anak Mak Mirah. Lebih dari itu, ndak, katanya kesal.

Pemuda Ichwan yang terkenal kemurung-murungan itu anak keenam Mak Mirah, penjual jamu di kampungku. Ia dua tahun lebih tua dariku, dan dulu pernah melamar si Romlah tapi ditolak oleh gadis itu. Ia jadi linglung, lalu seperti menyadari untungnya ia pun melanjutkan:

— Mudah-mudahan kau berhasil, Kawan, katanya.

Aku diam. Kami diam dengan pikiran masing-masing. Dan ketika kulihat temanku itu tak bergerak-gerak lagi aku teruskan pembicaraanku,

— Aku tak pasti, Kawan. Ichwan tergolek lagi menghadap aku.

— Apanya yang tak pasti?

— Kau sudah tidur?

— Belum

— Si Umi.

— Jadi kau sudah tahu?

— Maksudmu?

— Tentang dia?

— Kenapa?

Ichwan diam lagi. Betapa inginku mengetahui rahasia percakapan itu. Karena tiba-tiba saja hatiku jadi sekecil jangkrik. Aku bertanya, nafsu:

— Dia sudah dilamar orang?

— Beberapa kali.

— Dan tak ada yang diterimanya?

Ichwan batuk sebentar lalu menjengekkan kepalanya seperti mau membuka rahasia itu. Dan katanya.

— Kau tahu, siapa Haji Basuni itu? Dan bagaimana ia mesti mengambil menantu?

— Tidak ...

— Jangan main-main, Kawan; kecuali kalau kau anak hartawan, dan kalau haji itu bisa mengeruk hartamu.

— Juga Amin, Suami Hasanah itu?

— Dia masih misan sama Hasanah. Sekalipun Amin tak sekaya mertuanya, tapi dengan bersuamikan dia kekayaan haji itu takkan jatuh ke tangan orang lain. Lalu terbayang di mataku si Amran yang jadi gila ketika lamarannya ditolak oleh si Fatimah. O, ngeri sekali, kedengarannya. Tapi si Ichwan seperti mengetahui perasaanku ketika tiba-tiba ia berkata lagi:

- Kau tahu, Haji Basuni itu doyan makan riba?

- Maksudmu dia lintah darat?

- Lebih dari itu, ia seorang bakhil seperti Qarun dan kejam seperti Fir aun.

Tanpa kami ketahui kami diam-diam hanyut dalam mimpi.

Pada suatu hari aku pernah menerima surat dari Umi Kalsum, diantar oleh kemenakannya. Surat itu ditulis dalam bahasa Arab pego, begini bunyinya:

    Assalamu alaikum w.w.

    Aku senang sekali semalam melihat kau dan mendengar suaramu ketika kaunyanyikan "Tabasam" dalam qasidahan lagu kesayanganku.. Dengan lagu itu aku selalu ingat kau, meski kutahu kau sombong kata teman-temanku.

    Tapi aku . . . ah, aku hanya seorang gadis dan tak bisa berbuat selain berangan-angan saja. Aku takut Zainab. Lebih takut lagi pada bapakku. Kau tahu bapakku? O, lebih baik aku melihat dia lekas mati, biar aku bisa melihat kau tiap hari. Kini aku tak bedanya seperti anak monyet yang dirantai dalam kandang. Aku tak boleh melihat laki-laki. O, aku tersiksa siang malam. Aku cuma berharapkan kesempatan yang akan datang. Aku tak betah begini terus. Aku menderita atau lekas mati saja?

    Senyumku hanya bentuk pemberontakan terhadap nasibku. Berlagulah kau tiap hari untukku. O, aku sangat menderita. Kepada siapakah aku mesti berharap? O, aku melihat Tuhan ....

    Align Right

Wassalam bilmaaf,

(Umi Kalsum)

Seperti lilin rasa hatiku ajur dibakamya. O, begitu malang nasibnya. Tapi dengan tak kuketahui, dari belakang Zainab muncul dan datang hendak merebut surat itu. Untung ia sudah kuremas-remas. Betapa merah mukanya ketika melihat surat itu. Ia tunduk.

- Zainab, kenapa kau berbuat begitu? tanyaku memelas.

- Seharusnya pertanyaan itu aku yang punya, jawabnya lirih.

- Tapi aku tak bersalah bukan?

- Kau menyakiti hatiku.

- Tidak. Aku tak menyakiti hatimu.

- Dan surat itu?

- Itu urusanku sendiri, Nab.

- Dari Umi, bukan?

- Bagaimana kau tahu?

- Aku tahu, kau cinta padanya.

- Tapi sampai hari ini aku tak berbuat apa-apa, bukan?

- Kau akan berbuat.

- Maafkan aku. Nab.

Ia diam. Dan aku merasa tak bisa membuka diri lagi. Melihat aku gugup, Zainab jadi reda. Lalu katanya mendamba:

- Aku cinta padamu. Kenapa kau berbuat itu? Aku tahu, kau tak suka aku. Baiklah, cintailah dia tapi kau takkan berhasil, katanya.

Zainab seperti adik sendiri sejak lama dan begitu dekat dengan keluargaku karena Haji Tayib, ayahnya, adalah sahabat karib bapakku. Kerap kali Zainab disuruh mengantar surat atau barang dagangan ke rumahku. Dan selama itu Zainab seperti saudaraku sekandung. Di waktu senggang ia datang ke rumahku, meski aku tak ada.

- Maafkan aku, Zainab; kataku lagi, numpangi.

- Apa yang mesti kumaafkan?

- Aku telah membuatmu marah.

- Tidak. Aku cuma mau memperingatkan kau. Kau takkan bisa. Aku kuatir kau akan membenciku selama-lamanya; katanya kecewa.

- Sudah sejauh itu dugaanmu, Nab ? Itu tak benar. Aku selalu suka padamu.

Tapi tiba-tiba aku kehilangan pegangan. Dan terbayang di mataku nasib Amran anak petualang itu. Lalu aku ingat kembali percakapanku dengan Ichwan di langgar dulu.

- Zainab, kita masih kanak-kanak, sambungku menghilangkan yang mustahil.

- Lantas?

- Kita tak boleh meneruskan ini.

- Mengapa? Ayahku sudah mengatakan itu pada kakekmu, bukan?

- Aku tahu.

- Kau tak mau?

- Aku baru enam belas tahun jalan ...

- Aku sudah empat belas tahun, kini; tukasnya.

- Jadi kita masih kanak-kanak, bukan?

- Tapi kau betul mencintai aku, ya?

- Aku tak tahu. Tak tahu ... Ya, Zainab, aku mau.

Kami yang kebingungan itu tiba-tiba merasa ada sesuatu yang meliputi pikiran kami masing-masing. Jalan di muka rumahku ramai orang-orang yang mau pergi sembahyang ke langgar, sore itu. Waktu menjelang asar. Santri-santri hilir-mudik dengan bawaan masing-masing.

- Kau tak pulang mandi, Nab?

Ia berpaling dan melihat aku tajam-tajam.

- Baiklah kita sampai di sini dulu, Nab. Tak baik dilihat orang, kita berdua. He, kau dengar, kau dipanggil ibu?

Zainab berpaling lalu masuk ke rumah. Aku berpikir, kenapa aku mesti mencintai gadis yang tak mungkin kudapatkan? Tapi tiba-tiba pikiran itu lenyap manakala kudengar suara azan memanggil-manggil dari langgar.

Oleh pengaruh agama dan adat kami yang kuat, jarang terjadi perhubungan antara laki-laki dan perempuan, di kampungku, kalau di antaranya bukan famili sendiri atau yang sudah dekat dan diketahui oleh orang tua masing-masing, seperti halku dengan Zainab. Sekalipun yang demikian itu tak pemah dilarang, mereka dengan sendirinya takut karena hal itu perbuatan dosa. Jangan pun berhubungan, melihat dengan menimbulkan rasa dan nafsu pun dilarang oleh agama.

Perhubungan kami terbatas sapa-menyapa saja. Lebih dari itu, tidak. Kalau seorang laki-laki senang pada seorang gadis maka orang tua laki-laki itu harus mengajukan lamaran kepada orang tua gadis itu, dan perkawinan dilakukan kalau sudah sama-sama setujunya. Tapi karena masyarakat Kedungpring merupakan keluarga besar, maka kejanggalan itu tak terasa benar. Antara kami selalu hormat menghormati.

Pada suatu malam sesudah lepas pengajian di langgar, kami para santri yang akan pulang ada kalanya berbarengan dengan santri-santri perempuan. Kami bercampur. Tapi malam itu Zainab tak tampak olehku.

Di antara beberapa gadis yang menuju tikungan jalan Kedungpring kulihat Umi dan kakaknya berjalan. Tinggal ia berdua lagi, karena rumahnya jauh sedikit ke Ketapang. Diam-diam aku mengikut mereka dan belakang. O, aku ingin benar bercakap-cakap sebentar dengan dia, malam ini. Begitu ayunya sebab bulan mengembang di atas kepalanya.

Sesudah beberapa lama kami berjalan dan ketika akan membelok tikungan lain, Umi menoleh ke belakang. Keduanya menoleh, lalu kami bersenyuman. Keduanya berhenti dan aku menghampiri mereka.

— Assalamu alaikum, kutegur sopan.

— Waalaikumussalam, jawab keduanya.

Kemudian sunyi lagi dan kami diam-diam tegak di tengah jalan itu dengan risaunya. Kurasa kerongkonganku seperti ada kelerengnya, buntu! Kedua gadis itu tunduk malu-malu. Tapi sebelum aku memulai, berkatalah Umi. Katanya lembut:

— Kau dulu sudah terima suratku, bukan?

— Sudah, Umi. Tapi mari kita bicara sambil jalan.

Kami berjalan dan kulihat Latifah yang menepikan jalannya itu lalu kuhampiri.

— Latifah, malam ini kita berkenalan, kataku mesra. Dia ketawa kecil tapi tak terdengar suaranya. Kemudian Umi berkata lagi seperti mengolok:

— Sayang, Zainab tak datang mengaji malam ini, katanya.

— Dia sakit? tanyaku menutupi.

— Kau kan lebih tahu, bukan?

— Umi, kau jangan mengejek.

— Tapi ia kekasihmu, toh?

— Bukan, ia seperti juga kau. Teman. Hanya ia lebih akrab, ia kerap kali datang ke rumahku.

— Sayang, bukan aku yang jadi kau. Umi mengerling lagi dengan manisnya.

— Dan kalau kau?

— Aku lamar dia.

— Kau cemburu, Umi?

Ia diam. Bulan di langit mengawang di kepala kami. Malam berangkat larut.

— Kenapa malam ini kau tak dijemput?

— Kaulah, sekarang, yang menjemput kami.

Bayang-bayang panjang mengikuti kami sepanjang jalan itu. Latifah masih juga diam. Kepalanya tunduk seperti ikut merasakan perasaan kami. Memang ia gadis pemalu. Tidak seperti adiknya.

— Maafkan aku; tiba-tiba kudengar suara Umi lagi, seperti musik merdunya.

Di luar dugaan, dari arah yang kami tuju, kulihat sesosok tubuh manusia berdiri tegak di tepi jalan itu, yang tak jauh lagi dan rumah Umi. Ia mengawasi dengan tajam ke arah kami. Ketika Latifah dan Umi melihat orang itu tiba-tiba muka keduanya jadi pucat dan hampir menjerit.

Kami berhenti beberapa langkah dari orang itu dan orang itu tiba-tiba menghampiri kedua gadis itu. Dan tanpa bicara lebih dulu selayang tangan kulihat menimpa kepala Umi, selayang lagi pada Latifah. Keduanya menjerit lalu berlarian masuk ke rumahnya.

- Bangsat! Siapa kau? bentak orang itu, ketika berpaling ke arahku. Setengah takut aku pun menjawab:

- Saya teman Umi dan Latifah. Tiba-tiba benciku timbul pada haji yang murah tangan itu.

- Cucu Ishak itu?

- Aku mengangguk.

- Kenapa kau berani omong-omong sama anak-anakku?

- Tapi saya tak mengganggu mereka. Kami berteman dan kebetulan berjalan berbareng.

-Tapi aku bilang, tak boleh kaudekati mereka. Kau ngerti, Anak lapar?

Betapa tersinggungku ketika haji itu mengucapkan katanya yang akhir itu. Tapi aku tak berani dan tak bisa berbuat apa-apa selain merengut.

- Sekali lagi, awas! kata haji itu, mengancam. Umi sudah ada tunangan. Pergi! Pergi, kau! Haji itu membentak aku begitu rupa hingga mukanya yang mesum menimbulkan rasa jijikku.

Sedikit pun aku tak bergerak dari tempatku. Aku berpikir: Inikah kata orang haji keluaran Singapura itu? Orang-orang Pesantren Kedungpring menamakan dia haji keluaran Singapura, karena berangkat hajinya dulu tak sampai ke tanah Mekah. Ia berkeliaran di kota itu dengan dagangannya. Dan rahasia yang didiamkan itu diam-diam jadi populer di pesantren kami.

Sesudah haji itu meninggalkan aku dan baru saja aku melangkah, dari rumah Umi terdengar suara gaduh diiringi tangis perempuan. Aku kenal suara itu suara Umi. Ia melolong-lolong dalam sela bentakan dan lecutan pecut.

- Kapok, Pak! Kapook! Aduuh! Kapook!

Kembali hatiku luluh seperti semen. O, dia yang kukasihi itu menjadi korban kenakalanku. Seketika itu tubuhku secara ditempel dosa-dosa. O, air mataku jatuh. Aku menangis. Dan tiba-tiba saja hatiku mendongkol dan benci manakala kubayangkan muka haji yang murah tangan itu. Mau rasanya aku datang ke rumah itu dan berkata kepadanya:

- Kau haji mesum. Mudah-mudahan kau lekas mampus! Atau, mudah-mudahan uangmu habis dimakan rayap. Tapi tiba-tiba saja aku menggigil ketika angin mengembusi kepalaku. Beberapa saat kemudian suara lolong itu tak kedengaran lagi.

Tentang Haji Basuni orang-orang Kedungpring sudah kenal semuanya. Selain takabur dan suka menghina terhadap orang yang tak punya ia juga terkenal kikir. Dan sebab itu lalu timbul istilah yang lucu-lucu dari teman-temanku. Misalnya kalau seorang minta sesuatu pada temannya yang lain dan tak diberi, dia lalu berolok: Bakhilmu seperti Haji Singapura saja. Dan mereka akan ketawa. Tapi yang diolok-olok jadi marah dan membalas ejek: Memangnya, kau tak diambilnya jadi menantu, si! Lalu kawan-kawan itu akan tertawalah lagi.

Berbeda dengan Haji Tayib atau Haji Ma ruf, Haji Basuni tak pemah mengeluarkan zakat, meski hartanya beribu-ribu. Teman-temanku lalu memberi julukan lagi pada haji yang tak sosial itu. Setrika. Tentang adanya istilah setrika itu diambil dari sebuah cerita dalam kitab: Orang-orang kaya yang tak suka memberikan zakat dan sedekahnya kepada orang-orang miskin, kelak di akhirat uangnya akan dilebur, dijadikan setrika. Dengan setrika itulah punggung orang yang bakhil itu akan dilicinkan.

Aku kurang percaya tentang kabar yang mengatakan bahwa Haji Basuni jarang sembahyang di rumah, apalagi ke langgar. Di bulan puasa ia pernah kedapatan temanku sedang menggelap-gelap dan nongkrong di warung orang Madura di kota. Tapi di muka santri-santri dan sahabat-sahabat kiai ia selalu bermanis-manis untuk menyembunyikan kopiah putihnya itu. Anak-anak perempuannya diwajibkannnya kerja keras di dapur. Mereka membatik, menenun, dan memasak. Mereka tak boleh keluar rumah kalau tak perlu, pergi mengaji ke langgar, umpamanya. Kerap kali anak-anak gadisnya itu disawabi tangannya yang kasar itu. Dan mereka yang kena tangan itu akan menggelepar-gelepar seperti ayam dan meraung-raung.

Haji Basuni bercita-cita agar anak gadisnya itu dilamar oleh orang-orang yang berharta saja. Dan anak-anaknya itu harus menurut apa katanya. Tak boleh membantah dan membela diri.

O, Umi Kalsumku yang manis itu, begitu benar nasibnya; keluhku. Kalau saja haji itu tak murah tangan, takkan begini sentimen aku padanya. Sejak kejadian yang menyedihkan malam itu, lama sekali aku tak berani berjumpa dengan Umi. Melihat dia pun, tidak. Dan memang tak pernah lagi aku melihatnya. Zainab tahu hal ini. Dan betapa gairahnya ketika pada suatu hari ia datang ke rumahku dan buru-buru berkata kepadaku:

— Kau sudah dengar kabar itu? tanyanya.

— Kabar apa?

— Umi.

— Kenapa kau tanyakan itu?

— Maksudku ... dia hamil.

— Ha? Bicara yang benar, kau! teriakku kaget.

— Ssst, jangan keras-keras. Ini masih dirahasiakan, kata si Zainab. Memangnya aku bicara ngawur? Dia sudah tiga bulan!

Aku terenyak. O, ngeri sekali kedengarannya. Zainab masih saja memandangi mukaku. Hingga aku jadi marah:

— Kenapa aku kaulihat seperti itu? Dan Zainab tertunduk.

Aku berpikir, kalau begitu benarlah apa yang dipercakapkan bapak dan ibuku kemarin.

- Kasihan si Umi, kata Bapak.

- Kenapa dia! tanya ibu.

- Ayahnya terlalu keras, sih. Kasihan dia. Sampai di situ percakapan itu tak kudengar lagi. Kepada Zainab yang masih menunggu di hadapanku aku bertanya dengan gugup:

- Dengan siapa kau tahu dia bunting?

- Umi berkali-kali ditanyai bapaknya, tapi ia cuma nangis dan bungkam terus.

- Lalu dia dipukuli?

- Lantaran dia, lalu seisi rumah dipukuli semuanya.

- Masyaallah! Lantas bagaimana?

- Ibunya sudah ikhtiarkan pada dukun, supaya buntingnya bisa kempes. Tapi percuma. Perut itu makin besar-besar juga.

- Lalu, apa kata dukun itu lagi?

- Katanya, yang berbuat itu laki-laki gemuk dan kudisan, yang dulu pernah melamar tapi ditolak oleh bapaknya.

- Apa? Si Mursid yang bugil itu, pikirmu?

- Itu kita tak pasti.

- Dan Umi sekarang di rumahnya?

- Kau tahu, Haji Basuni kemarin menemui ayahmu? Zainab balik bertanya.

- Menemui ayahku?

- Dia berjanji mau memberi sebuah rumah dan uang yang diminta, pada siapa yang mau ngawini anaknya. Sampai hari ini Bu Haji masih menangis terus!

- O, haji laknat. Kalau mati ia pasti digilas neraka! kataku masygul. Zainab mengejek:

- Kau mau?

- Diam, kau! bentakku, tapi Zainab dengan latahnya terus menertawai diriku.

Sejak hari itu pikiranku terpengaruh oleh kabar yang menyedihkan itu. Siapakah yang menduga bahwa kejadian semacam itu menimpa keluarga Haji Basuni? Menimpa Umi Kalsum yang begitu lembut? O, mustika-hidupku yang lama kuimpikan dan yang hendak kurebutkan dengan sepenuh perasaanku itu, kini telah noda. Tapi bagiku Umi tetap suci. Sebab betapapun ia telah berusaha mempertahankan kemerdekaan dirinya dari kekerasan orang tuanya. Bagiku, Umi tetap zamrud dalam harapan dan kenang-kenangan. Tapi kurasakan, betapa kini aku tak tenteram lagi tinggal di rumah. Dan tak kutahu, mengapa begitu besar kesan Umi dalam hatiku. Dan aku tak sanggup berbuat apa-apa.

Kejadian yang menimpa keluarga Haji Basuni itu mula-mula dirahasiakan orang. Tak banyak orang yang mendengar atau mengetahui, sebab memang tidak banyak orang melihat keadaan Umi dari dekat. Tapi akhirnya rahasia itu bocor juga, seperti bau bangkai meski betapapun pandai orang menutup-nutupi. Keluarga haji yang malang itu tak sanggup lagi mempertahankan rasa malunya yang besar. Menurut kabar orang-orang sekampung, pada akhir-akhir ini di rumahnya selalu terdengar orang gaduh dan ribut. Suara perempuan-perempuan yang menangis tak henti-henti hingga para tetangga merasa terganggu. Dan oleh gangguan-gangguan itu para tetangga mulai ikut campur. Mereka sama kuatir akan timbulnya sesuatu kemungkinan yang tak diharapkan.

Dan beberapa hari kemudian kekuatiran itu pun benar-benar menjadilah suatu kenyataan ....

Pada suatu malam sebelum fajar, ketika sedang enak-enaknya orang tidur, tiba-tiba terdengar dari rumah Haji Basuni jeritan orang perempuan. Keadaan jadi ribut. Tetangga-tetangga yang dekat sama datang menyaksikan apa yang kiranya telah terjadi. Juga orang-orang Kedungpring yang letaknya sedikit jauh dari desa itu ikut berkerumun dan dari mulut ke mulut akhirnya peristiwa itu pun tersebarlah merata dengan cepatnya.

Kami serombongan kanak-kanak ikut juga ke sana dengan hati yang cemas. Terlebih aku, yang merasa punya sangkutan batin dengan salah seorang anggota keluarga itu.

Betapa terkejutku manakala seseorang berteriak: Bunuh diri! Bunuh diri!

Dalam ketakutanku kubayangkan sebuah tubuh ramping sedang tergantung pada seutas tali dan sebuah wajah cantik mengeluarkan lidah dan busa. Di situ mataku kupejamkan. Aku tak sanggup melihat kemurungan langit malam itu. Sebuah cahaya menganga di arah timur. Mungkin malam itu sudah menjelang fajar.

Oleh kerusuhan-kerusuhan pikiranku itu aku tak ikut orang-orang itu memasuki rumah Haji Basuni. Tapi sebentar ada kudengar kebenaran pikiranku tadi. Orang-orang itu menyaksikan suatu kejadian yang mengerikan: di kamar mandi Umi didapati mati tergantung!

O, waktu itu aku tak bisa menguasai diriku. Kepalaku terasa pusing dan mataku berkunang dalam peluh dingin yang mengaliri seluruh tubuhku. Aku lari pulang. Sementara itu aku masih mendengar bisik seorang-seorang:

- Dia senyum. Lalu sambung yang lain: - Umi melihat Tuhan.

Tapi aku hanya melihat seutas tambang keras telah menjerat leher halus itu dan menyeretnya ke kubur. Aku melihat seorang laki-laki setengah tua, berkopiah putih dengan bengisnya kemudian melemparkannya ke dalam jurang.

Beberapa hari sesudah kejadian yang mengerikan itu, orang-orang kampung ramai mempercakapkan nama Haji Basuni. Dalam isi percakapan itu terasa benar nada kebencian mereka terhadap haji yang malang itu. Tapi kini aku berpendapat lain, Haji Basuni semestinya dikasihani. Karena setidaknya ia akan dihadapkan pada bayangan ketakutan, selama hidupnya.

Demikianlah akhirnya, Umi Kalsum yang kami kagumi kecantikan dan kelembutannya itu, mengakhiri hidupnya dalam keadaan yang amat menyedihkan.

Bukan saja keluarganya yang merasa kehilangan. Tapi kami, teman-temannya yang ketika hidupnya saling merebutkannya, ikut pula kehilangan. []

 

Kisah, No.7-8,Th.IV,Juli/Agustus 1956

Djamil suherman mengorbit sebagai sastrawanI Indonesia awal 1958,  Lahir 24 April 1924 di Surabaya,dan tutup usia 30 November 1985 di Bandung. Tamat SMA di Kota kelahirannya (1950) dan melanjutkan ke AAN (Akademi Administrasi Negara) Bandung.

Di usia  23 tahun menjadi Sersan Mayor I TNI Brigade 3 Divisi VI Kediri. Pernah menjadi guru agama Islam dan merangkap guru sekolah dasar di Surabaya (1950). Pernah bekerja di PN Postel (PTT), mengasuh lembaran kesusastraan kanak-kanak di Minggu Ria, Palembang, dan bekerja di PN Postel Bandung.

Bukunya yang sudah terbit: Muara (1958), Umi Kalsum (1963), dan Perjalanan ke Akherat (1963). Sebuah cerita pendeknya ada dalam antologi Angkatan  66 (1968) susunan H.B. Jassin.