» Website: https://www.sripari.com » Email: redaksi.sripari@gmail.com » Alamat: Redaksi Tuban: Jalan Raya Logawe nomor 359 Rengel 62371, CP/WA: 082231041229. Redaksi Surabaya: Jalan Kebonsari Raya nomor 26,CP/WA: 082333695757. » Telepon: .

■ Kisah

Stanley Matthews dan Sroedji

30 September 2016 | Kisah | Dibaca 2447 kali

Dua-duanya sama-sama saling mengusung gagasan cinta tanah air dan bangsa, sama-sama berjiwa patriotisme. Yang satu mempersembahkan hatinya untuk kemerdekaan, yang satunya lagi "berjuang" demi menegakkan kembali harga diri bangsanya. 

 

RZ HAKIM

 

Publik Inggris tentu mengerti pada sosok Stanley Matthews, teristimewa mereka para pencinta sepakbola. Ia lahir di Hanley, 1 Februari 1915. Anak ketiga dari empat bersaudara ini memiliki seorang ayah, seorang tukang cukur dan mantan petinju profesional bernama Jack Matthews. 

Apa hebatnya Stanley Matthews hingga saya tertarik untuk menulisnya? 

Matthews kecil adalah hanya penggemar permainan sepakbola. Hidupnya saat itu bergantung kepada klub Stoke City yang mempekerjakannya sebagai seorang tukang cuci sepatu. Di ulang tahun yang ke 15, barulah Matthews mendapatkan kado dari Stoke City yang mengangkatnya menjadi pemain tim cadangan di Stoke City. 

Sejarah mencatat, sepanjang karirnya, ia tidak pernah menerima satu kartu pun dari wasit. Sangat mengagumkan bagi seorang pemain sepakbola yang mengakhiri permainan pamungkasnya bersama Stoke City pada 6 Februari 1965, saat ia berusia 50 tahun. Sumber lain mengatakan, dia memainkan pertandingan terakhirnya pada tahun 1985, di usianya yang ke 70 tahun. 

Sungguh sebuah etika yang layak kita renungkan dari seorang legenda sepakbola yang dijuluki The Wizard of the Dribble dan The Magician ini. Stanley Matthews, ia adalah legenda sepakbola Inggris dan juga milik dunia. 

Sementara itu..

Bersamaan dengan tanggal lahir Stanley Matthews, di tempat yang berbeda, lahir seorang lelaki yang oleh orangtuanya diberi nama Mochammad Sroedji. Ia lahir di Bangkalan, Madura, ketika di luar sana Perang Dunia I baru setengah tahun berjalan. Sroedji lebih banyak menghabiskan masa kecilnya di Gurah, Kediri, tepatnya di Dusun Kauman. Di sini ia menimba ilmu dasar, di Hollandsch-Inlandsche School. Di kemudian hari ia melanjutkan studinya di Ambachtsleergang. 

Beruntung bagi Sroedji yang lahir di era paska pemahaman Politik Etis. 

Sroedji masih sangat muda ketika tinggal di Jember, 23 tahun. Di sini ia bekerja sebagai mantri malaria di RSU Kreongan, dekat dengan pusat Kota Jember. 

Di tahun yang sama, Stanley Matthews sedang memperkuat tim Inggris melawan kesebelasan Jerman. Di sini terjadi insiden yang pelik, ketika kesebelasan Stanley Matthews dkk dianjurkan untuk melakukan penghormatan salam Nazi. Saat itu Matthews berkata, "Kami tak akan melakukan itu bahkan sampai matahari tak bersinar kembali." 

Namun, mereka sedang ada di situasi politik yang memanas. Mau tidak mau seluruh tim menerima usulan itu. Saya membacanya di Pandit Footbal Indonesia. Setahun kemudian, 1939, Sroedji menikah dengan Rukmini. Pernikahan mereka ditandai dengan dimulainya Perang Dunia II, sebuah konflik kemanusiaan paling mematikan sepanjang sejarah umat manusia. 

Memasuki tahun kedua pernikahan, dunia dikejutkan dengan terjadinya penyerangan Jepang terhadap Pearl Harbor, sebuah pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di pulau Oahu, Hawaii. Ia membawa Amerika Serikat ke kancah pertempuran.

Begitu Jepang menyerang Pearl Harbor, pemerintah kolonial Belanda otomatis juga terseret dalam peperangan itu. Belanda termasuk dalam Front ABCD; Amerika, Britain, China dan Dutch. Itulah kenapa ia terseret dalam Perang Dunia. 

Bagaimana pandangan seorang Sroedji tentang peristiwa yang terjadi? 

Ketika pertanyaan itu diajukan pada saya yang lahir dan besar di masa merdeka, tentu saya tidak tahu. Namun, bercermin pada pandangan umum masyarakat Indonesia kala itu, mereka berpikir bahwa yang berperang adalah Pemerintah Kolonial dan bukan rakyat Indonesia. Pemikiran itu yang membuat mereka enggan turut berperang, kecuali tentu saja para pihak "pribumi" yang dekat dengan Belanda. 

Di pemula era 1940an, sebelum Jepang bercokol di bumi nusantara, rakyat negeri ini melancarkan semboyan "Indonesia Berparlemen" sebagai salah satu jalan agar Belanda menepati janjinya kepada kita ikut ambil bagian dalam pemerintahan. Namun seperti yang sudah-sudah, Belanda ingkar janji. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, Gubernur Jenderal waktu itu, menjanjikan untuk mengadakan perubahan konstitusi, hanya jika pemerintah kolonial Belanda memenangkan Perang Pasifik. Masalahnya, ia hanya sedang berjanji. 

Lalu datanglah Jepang.

Di pembuka bulan Maret 1942, tentara Jepang di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hitoshi Imamura, mereka mendarat di tiga tempat di Pulau Jawa. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer menyerah tanpa syarat. Banyak yang mengira jika Jepang akan membawa perubahan. Padahal telah terdengar oleh sebagian orang tentang sikap tentara Jepang ketika menyerbu Manchuria dan Tiongkok. Publik tidak bisa disalahkan. Mereka lebih sering mengandalkan berita dari koran dan radio. Sementara radio-radio waktu itu banyak yang menyiarkan tentang dua negara pembaharu, Jepang dan Jerman.  

Propaganda dimana-mana. Salah satu cara Jepang, mereka memulai siaran radio Jepang dengan lagu Indonesia Raya.

Kondisi politik dunia sedang kacau, pun begitu dengan Indonesia. Kantor-kantor milik Belanda dirusak, barang yang dibutuhkan pihak Jepang tentu akan diambilnya pula, entah itu lemari, tempat tidur, piano, atau meja dan kursi. Bukan hanya warga Eropa (yang tinggal di Indonesia) saja yang bernasib buruk, etnis Cina juga terdampak. Ini erat kaitannya dengan Front ABCD; Amerika, Britain, China dan Dutch. Kantor-kantor Belanda dan toko-toko Cina, semuanya nyaris tak berpenghuni. Kosong melompong. Diawali dari orang-orang Jepang yang haus dan lapar, mereka menggedor serta mengambil apa saja yang dibutuhkan yang ada di dalam toko. Selanjutnya, perbuatan itu ditiru banyak orang. Berduyun-duyunlah barisan usung-usung di masa kacau. 

Dapat saya bayangkan bagaimana kacaunya kerumunan massa yang ibarat semut tanpa ratu itu. Tak ada tokoh agama, polisi tak terlihat batang hidungnya, pintu-pintu penjara terbuka, sedang masyarakat awam terbius oleh harapan baru datangnya "saudara tua." Kiranya Jepang berhasil melancarkan serangan di lini propaganda. 

Hari berganti, rakyat semakin mengerti tentang sikap orang-orang Jepang yang semakin meragukan. Secara naluriah mereka menunjukkan sifat "penjajah" yang mengintimidasi, ingin dihormati secara berlebihan. Selamat datang penjajahan dalam wajah yang berbeda. 

Rakyat sempat terlibat eker-ekeran dengan pihak Jepang mengenai cara mereka memandang kaum hawa. Lalu sampailah pada sebuah kesimpulan, lebih baik ada lokalisasi wanita tuna susila daripada seringkali terjadi Jepang berkeliaran di kampung memburu perempuan. Syaratnya, polisi tidak salah comot ketika mengumpulkan calon penghuni lokalisasi. 

Ah.. Sangat benar jika segala bentuk penjajahan adalah menyebalkan. Ia akar dari situasi dimana hukum tidak lagi diperlukan dan keadilan menjadi utopis. Rukmini, istri Sroedji, tentu dirinya sangat mengutuk penjajahan. Itulah sebabnya ia bercita-cita ingin memiliki gelar di bidang hukum, Meester in de Rechten.

Menyadari turunnya respon masyarakat (di saat Jepang sedang butuh-butuhnya sumber daya untuk menyokong perang) maka Jepang melakukan propaganda terbaiknya untuk mewujudkan berdirinya PETA atau Pembela Tanah Air. Gagasan ini berhasil, meski tak lama kemudian PETA dibubarkan karena ternyata lebih bersifat menumbuhkan kesadaran kritis akan hak atas kemerdekaan bangsa. Sroedji tercatat sebagai anggota pendidikan PETA angkatan pertama, di akhir 1943. 

Menjelang pertengahan tahun 1945, Perang Asia Timur Raya mulai tak terdengar gaungnya.  

Sayup-sayup, ada satu dua orang yang mendengar terjadinya bom atom di Jepang, disusul tak lama kemudian dengan pembacaan teks Proklamasi di Jakarta sana. Tak semua warga nusantara mendengar dan memahami (saat itu juga) tentang situasi paling bersejarah ini, 17 Agustus 1945. 

Datangnya Pasukan dari Negeri Stanley Matthews 

Pasukan dari Negeri Stanley Matthews, Inggris, datang ke Indonesia tak lama setelah kita memproklamirkan kemerdekaan. Inggris tergabung dalam Allied Forces Netherlands East Indies atas keputusan dan atas nama Blok Sekutu, sesuai dengan Perjanjian Yalta. Tugasnya di Indonesia yaitu untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. 

Seharusnya, itu menjadi tugas yang mulia, mengabarkan benih perdamaian. 

Ada udang di balik batu. Pasukan Inggris, mereka juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintah kerajaan Belanda. Ini tentu saja akan mengembalikan status Indonesia sebagai negeri jajahan Hindia Belanda. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut membonceng bersama rombongan pasukan Inggris untuk tujuan tersebut. Akibatnya, timbul gejolak di hati rakyat Indonesia. Lahirlah gagasan pergerakan perlawanan rakyat, mereka melawan AFNEI dan pemerintahan NICA.

 

Kabar Matthews

Antara tahun 1939 hingga 1945, tepatnya pada pecahnya Perang Dunia II, Matthews bergabung dengan RAF, Angkatan Udara Britania Raya. Untuk sementara waktu, ia menggantungkan sepatu dan pergi berperang. Tak ada catatan rinci tentang saat Stanley Matthews melakoni peran tersebut.

Gejolak timbul di mana-mana, tak terkecuali di Surabaya. Kematian Aubertin Walter Sothern Mallaby, seorang Brigadir Jenderal Inggris, menyebabkan semuanya tampak semakin kacau. Gambar mobilnya yang terbakar saya dapati di KITLV. Ia tewas di Surabaya pada 30 Oktober 1945.

Kematian Mallaby mengundang Sekutu untuk memberikan ultimatum. Mayor Jenderal E.C. Mansergh, pengganti Mallaby, ia mengeluarkan ultimatum kepada pasukan Indonesia di Surabaya pada tanggal 9 November 1945 untuk menyerahkan senjata tanpa syarat. Bisa ditebak, esok harinya pecahlah pertempuran di Surabaya. 

 

Stanley Matthews dan Sroedji

Saya membayangkan sekiranya dua orang ini, Stanley Matthews dan Sroedji, bertemu di sebuah warung kopi di tepi lapangan sepakbola, dimana ada anak-anak kecil sedang bermain bola. Tentu mereka akan menikmati suasana, salah satu ada yang menyapa, lalu timbullah interaksi. Entah apa yang akan mereka bicarakan. Dalam bayangan saya, mereka sedang mengeluhkan dampak perang. 

Tiba-tiba saya teringat akan kisah Tuan Joop Hueting yang pernah dituliskan oleh saudara Ady Setyawan. 

 "Jogjakarta, 1948, perang kota. Saat itu saya mendadak berhadapan dengan seorang anggota TNI. Masing masing dari kami saling menodongkan pistol, dan.... Kamu bisa melihat, siapa diantara kami yang lebih cepat menarik pelatuk. Dia gugur. Dia seorang Letnan. Namun bagaimana pun dia adalah prajurit dan saya juga prajurit. Tak ada pilihan lain, inilah dunia kami. Dia meninggal dengan terhormat."

Bagaimana jika Sroedji dan Stanley Matthews saling berhadapan tapi tidak di warung kopi dan tidak sedang di suasana yang damai? Apa yang pernah dilakukan Tuan Joop Hueting, seperti itulah yang akan mereka lakukan. Berbeda ketika mereka berjumpa di situasi yang teduh. Akan ada banyak topik yang bisa diperbincangkan. Bisa saja mereka terlibat engkel-engkelan hanya karena mengutuk kekerasan. Kemudian mereka saling pandang, lalu tertawa keras-keras sebab baru sadar jika mereka juga bagian dari "kekerasan" yang dimaksud itu.

Seringkali, perang adalah situasi yang sulit dicerna oleh akal sehat.

Paska perang, yang gugur akan dikubur. Efeknya dirasakan oleh orang awam. Banyak sekali dampak yang diakibatkan oleh perang, tak hanya tangis dan kehilangan. Ia juga berwujud dalam bentuk kenaikan harga barang, sulitnya mendapatkan bahan-bahan pokok. Sumber daya alam seperti sedang menguap entah kemana, mulai dari rempah-rempah, sayuran, beras hingga minyak. Orang macam Sroedji tentu akan merasa terinjak-injak mata hati dan kemerdekaannya. Ia berjuang untuk memperlakukan kebenaran dan menegakkan tiang keadilan yang roboh. 

Bagaimana dengan Stanley Matthews? Mungkin ia terperangah lalu berpikir, bukankah jika dicerna kembali, SDA adalah penyebab utama terjadinya perang? Terbunuhnya Brigjen Mallaby menambah satu poin alasan kuat. Bukan saja karena peristiwa itu menimbulkan kegemparan luar biasa, namun pihak Inggris merasa bahwa pihak Indonesia membunuh secara khianat salah satu putra terbaik Inggris, bahkan setelah Perang Pasifik usai. 

Sroedji dan Stanley Matthews, jika saja mereka bertemu dalam sebuah pertempuran, tentu keduanya akan saling menyerang dan saling mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Dua-duanya sama-sama saling mengusung gagasan cinta tanah air dan bangsa, sama-sama berjiwa patriotisme. Yang satu mempersembahkan hatinya untuk kemerdekaan, yang satunya lagi "berjuang" demi menegakkan kembali harga diri bangsanya. 

Sroedji dan Stanley Matthews, mereka adalah dua kisah yang berbeda. 

Pada akhirnya, Letkol Moch. Sroedji gugur di medan pertempuran, tepatnya di Desa Karangkedawung, Jember, di usianya yang ke 34 tahun. Itu terjadi pada 8 Februari 1949. Sedangkan Stanley Matthews, ia meninggal dunia pada 23 February 2000, di usianya yang ke 85 tahun. 

 

Penutup

Indah sekali membayangkan persahabatan imaji, yang saya ciptakan sendiri, antara Sroedji dan Stanley Matthews. Saya juga ingin seperti itu. Hanya karena saya tak akan pernah bisa berpihak kepada siapa pun yang menjajah bangsa lain, bukan berarti saya membenci orang/bangsa lain yang pernah merobek harga diri Indonesia. Kita telah merdeka, telah berdamai dengan masa lalu. 

 

Sadar sejarah bukan berarti memelihara dendam. Ia lebih pada memperlakukan kemerdekaan dengan benar, mengantarkan pada kehidupan damai yang berguna, serta meluaskan wawasan agar lebih mencintai Tuhan, kemanusiaan dan alam. 

"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."

Kita diciptakan terdiri dari berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kita saling kenal mengenal. Mari bersahabat, mari mengusung gagasan persaudaraan universal dan jangan sekali-sekali mencoba untuk menegakkan penjajahan, kapan dan dimana saja. Sebab penjajahan adalah sangat menyebalkan.

 

Sejatinya, hidup adalah tentang meraih kemerdekaan. Tidak merdeka sama dengan tidak bahagia.[]

 

Catatan

Bahan-bahan materi saya perkaya dari buku sejarah SD, otobiografi Dr. H. Soemarno Sastroatmodjo, Drama itu bernama sepakbola, serta googling di situs-situs berita yang menuliskan tentang Stanley Matthews.